Banyak orang mengira laut dalam adalah tempat yang tenang dan sepi. Kenyataannya justru sebaliknya. Riset di Palung Mariana, Filipina, yang berdekatan dengan Samudra Pasifik bagian barat menunjukkan adanya beragam suara, baik alami maupun buatan manusia.
Selama tiga pekan, tim peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Oregon State University, dan Penjaga Pantai Amerika Serikat “menguping” lingkungan laut dalam di tempat terdalam di lautan itu. Mereka mengirim hidrofon—semacam mikrofon bawah laut—yang dibungkus wadah titanium ke Ceruk Challenger, titik terdalam di Palung Mariana yang jaraknya hampir sebelas kilometer dari permukaan laut.
Alih-alih mendapati kesunyian seperti yang diduga sebelumnya, para peneliti justru mendapatkan rekaman mengejutkan. Mereka mendengar beragam suara, dari kertak gempa bumi, lenguhan paus baleen, gemuruh topan kategori 4, hingga deru baling-baling kapal kargo.
“Ada banyak kegaduhan yang terjadi secara konstan baik alami maupun buatan manusia,” kata Robert Dziak, ahli oseanografi dan peneliti kepala NOAA, dalam rilis dari Oregon State University.
Dziak mengatakan gemuruh di Ceruk Challenger didominasi gemuruh gempa bumi, lenguhan khas paus baleen, dan suara topan besar. Suara kapal laut juga terekam. “Bisa diidentifikasi dari pola suara jernih yang muncul dari putaran baling-baling saat kapal melintas,” katanya.
Tidak mudah untuk menguping suara kondisi di sekitar Ceruk Challenger. Tempat itu sangat dalam. Jika Gunung Everest—gunung tertinggi di dunia—yang menjulang 8,8 kilometer bisa diletakkan di sana, masih tersisa jarak lebih dari satu setengah kilometer antara puncaknya dan permukaan laut.
Menurut Haru Matsumoto, insinyur dari Oregon University yang ikut membangun hidrofon, tekanan di tempat sedalam itu luar biasa. Di permukaan bumi, tekanan atmosfer berkisar 14,7 pon per inci persegi (PSI) atau setara 6,7 kilogram. Di Palung Mariana, tekanan bisa lebih dari 16 ribu PSI (sekitar 7.250 kilogram).
“Kami belum pernah meletakkan hidrofon di kedalaman lebih dari satu setengah kilometer,” kata Matsumoto. “Memasang instrumen di kedalaman sebelas kilometer jelas sangat sulit.”
Agar tak rusak akibat tekanan tinggi, hidrofon diturunkan perlahan. Kecepatannya tak lebih dari lima meter per detik. “Struktur tidak bisa menghadapi perubahan cepat, dan kami khawatir lapisan keramik pembungkusnya retak,” kata Matsumoto. Diperlukan sekitar enam jam untuk alat ini tiba di dasar Palung Mariana.
Studi suara di Ceruk Challenger ini bagian dari riset besar untuk mengetahui seberapa riuh perairan dalam Samudra Pasifik. Para ahli berpendapat suara antropogenik atau yang dibuat oleh manusia yang terdengar di perairan dalam meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir.
Studi yang dibuat Matthew K. Pine dari Institute of Marine Science, Auckland, Selandia Baru, yang dimuat di jurnal New Zealand Acoustics, menyebutkan di laut dalam suara di bawah level 100 hertz yang dihasilkan motor kapal meningkat hingga 15 desibel sejak 1960.
Kebanyakan suara kapal yang merambat di dalam air berfrekuensi rendah di bawah 300 hertz. Kapal kargo yang melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam memicu kebisingan 150 desibel pada frekuensi 10 hertz atau 180 desibel pada rentang 200-500 hertz.
Frekuensi kebisingan yang dihasilkan peralatan manusia itu beririsan dengan suara yang dibuat oleh hewan laut, seperti paus, lumba-lumba, dan krustasea, dengan rentang 20-200 hertz. Penghuni laut ini menggunakan suara untuk navigasi, mengenali kelompoknya, hingga berburu. Ada kemungkinan kebisingan dari peralatan manusia mengganggu kemampuan para hewan itu untuk mengenali suara-suara dari kerabat dan lingkungannya.